Era Suharto telah lengser,
revolusi telah bangkit. Di mana kediktatoran telah terbenam dalam sinarnya
demokrasi kerakyatan. Era revolisi tak semudah membalikkan telapak tangan,
mentoleh kekanan maupun ke kiri, ini berkat perjuangan para kiai, syuhada’
maupun andil dari mahasiswa. Maka dari itu tak heran para mahasiswa kerap
disuakan sebagai agent of change. Namun yang saya tanggapi bukanlah era Suharto,
namun suatu proses untuk menjadi “agent of change” tersebut yang mana harus
melalui yang namanya OSPEK.
Ospek
sejatinya adalah masa di mana kita diarahkan agar mampu beradaptasi dengan
lingkungan kampus maupun system akademiknya, namun suatu momok kejam, kiji, nan
menakutkan hampir tercermin bagi mereka yang hendak memasuki bangku perkulihan
khususnya di Indonesia. Mungkin karena mereka telah termakan oleh media yang
mengkuak fakta dibalik ospek yang menimbulkan kematian, memar, maupun cacat
akibat tindak kediktatoran senior mereka.
Namun ini adalah tahun revolusi pemikiran, di
mana kekerasan tak selalu mendidik. Namun bahkan akan berimbas pada perlakuan yang
sama pada juniornya kelak. Maka tak akan ada yang namanya inovasi, kreasi,
bahkan kemajuan mental untuk para pembangun bangsa. Mereka akan terkotak kotaki
akan yang namanya konsekuensi berat dan berimbas enggan berspekulasi.
Metode
ospek yang sekarang diterapkan umumnya terdiri dari 2, ospek umum dan fakultas.
Mereka akan dikenalkan system akademik maupun di tuntut kreatif dalam pemikiran
dengan dibebani barang bawaan secara dengan petunjuk layaknya teka teki. Namun di
sisi lain apakah ini efektif? Ya kalau orang yang malas atau rumahnya jauh
pasti akan mencari jasa atribut ospek yang dibandrol jauh dati eceran normal. Maka
dari itu bisa dikatakan ospek merupakan sumber rejeki maupun pemborosan.
#pestaUII2014
Artikel keren lainnya:
evobanner