Beranda · Site Map · Artikel · Kontak

Walisongo Penerus Dakwah Nabi

(kiri: foto walisongo yang sering kita jumpai ketika berziarah ke area makam beliau)
 Bangsa Arab Hadramaut  telah lama mencapai pesisir barat laut pantai  Sumatra, yang diperkirakan oleh sejarawan Islam terjadi kisaran abad ke-7 Masehi. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat selama dua atau tiga abad sebelum agama Islam lahir, sehingga pengaruh mereka berkesan di tengah masyarakat. Dengan masuknya Islam ke pesisir pantai kepulauan ini, pengaruh ini semakin kuat, terutama dalam bidang kebudayaan. Agama baru diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari rakyat jelata hingga para raja. (Baca juga: pergaulan bebas mahasiswa)

(baca juga : CARA MENGHASILKAN UANG DARI SMARTPHONE)

Agama Islam yang menjamur di Nusantara seperti kini bukanlah tanpa sebab dan perjuangan yang berarti. Islam adalah agama yang menghargai persamaan kedudukan, hak dan kewajiban manusia. Sehingga dalam penyebarannya, tanpa paksaan dan kekerasan, Islam dapat mudah berkembang di Nusantara.  Dengan demikian, semua lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara, bergotong royong, saling menghargai, saling mengasihi, bersikap adil sehingga toleransi Islam merupakan ciri utama bangsa ini yang dikenal dunia sampai sekarang ini.

Eksistensi Walisongo sebagai bagian dari para pelopor kalimatullah di bumi Jawa tidak diragukan lagi keberadaannya. Meski dalam analisis sejarawan Islam belum bisa mengkuak secara pasti kapan Islam kali pertama disebarkan khazanahnya di Nusantara, namun jejak peninggalan yang ditemukan di ranah Jawa secara Historis sudah cukup membuktikan mulai surutnya dominasi Hindu-Budha di tengah kepercayaan dan kultural di masyarakat. Walaupun dalam realita penyebaran Islam di Nusantara bukan merupakan dari pangku tangan tunggal dari Walisongo semata, namun demikian kata Walisongo hanya merupakan simbolis generalisme dari para penyebar Islam lain oleh masyarakat awam, karena dedikasinya juga yang besar terhadap perkembangan kerajaan Islam di Nusantara.

Walisongo yang kesemuanya berjumlah sembilan Mubaligh (da’i), delapan diantaranya masih dalam satu garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW., dan hanya satu diantara mereka yang merupakan keturunan Jawa asli, yakni Sunan Kalijaga (Raden Sa’id). Di sisi lain, kajian historis telah menyatakan bahwa Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan Grand Father, itu disebabkan karana ia di anggap sebagai wali pertama yang berdakwah di Jawa dan sebagai perintis pertama tempat mengaji agama yakni ‘Pondok’. Dalam perjalan dakwah para Walisongo, banyak usaha yang mereka tempuh dalam menyebarkan agama Islam sampai ke plosok penjuru pulau Jawa, mulai dari hidup sebagai sufi dalam berbaur dengan masyarakat, membuat pendekatan dengan budaya mereka, hingga secara diplomatis.

Jalur Politik Dan Kekuasaan
            
Secara politis, penyebaran Islam juga dilakukan oleh para raja dan penguasa pada saat itu. Dengan adanya raja-raja yang beragama Islam, ajaran Islam mulai tersebar ke penjuru  pelosok
kerajaan dan berangsur-angsur mulai diikuti dan di terima oleh rakyat dan punggawa kerajaan. Diantara salah satu wali yang berdakwah di jalur ini adalah Sunan Ampel, yang merupakan keturunan ke-22 dari Rosulullah SAW. ia menikah dengan Nyai Ageng Manila yang merupakan putri dari Adipati Tuban (Arya Teja) sehingga Hubungan diplomatis terjalin dan rakyat perlahan mulai tertarik dengan nuansa agama yang dibawa oleh menantu dari sang Adipati.

Jalur Pendidikan
            Penyebaran Islam di Indonesia juga tak lepas dari sumbangsih dalam bidang pendidikan, baik melalui majlis ta’lim maupun pesantren yang diselenggarakan oleh guru-guru agama dan ulama’-ulama’. Di pesantren para santri yang merupakan bakal calon ulama’, guru agama dan kyai mendapat mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, diharapkan mereka pulang ke kampung masing-masing atau bisa berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Paden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Lulusan pesantren Giri ini juga banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam.

Jalur Kebudayaan
            Kebudayaan Merupakan jalur penyebaran Islam yang sangat efektif. Jalur ini dicontohkan oleh salah satu Walisongo dengan menggelar pertunjukan kesenian dan kebudayaan. Sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga, seorang wali yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dalam pertunjukan yang ia gelar tersebut dia tidak pernah meminta upah sereserpun dari hasil  pertunjukannya, tetapi ia hanya
mereka untuk mengikuti bacaan syahadatnya. Selain itu, ia juga menyelipkan ajaran ajaran islam dalam cerita wayang yang ia pentaskan itu. Di sisi lain, Sunan Kudus dalam pendekatannya dikalangan masyarakat Hindu, beliau  melarang para pengikutnya untuk menyembelih sapi (binatang yang di sucikan kaum Hindu) dan sengaja membuat ornamen masjid beliau layaknya serupa dengan tempat peribadahan mereka. Hingga akhirnya satu persatu mereka tertarik dan kemudian bersyahadat di depan Sunan Kudus dengan kerelaannya.

            Usaha Walisongo yang begitu gigih nan cerdik dalam bembaur dengan masyarakat untuk mengupayakan Islamnya Nusantara dan Jawa khususnya menuai hasil yang cemerlang. Kini realita tak dapat dibantah lagi bahwa mayoritas masyarakat sekarang telah bersyahadat atas jasa para mubaligh yang tak lepas dari Walisongo utamanya, dan KH. Hasyim Asyari, Hamzah Fansuri dan lainnya yang dulu merupakann motor utama dalam penggerak syiar Islam. Kini masyarakat yang menuai prosentase terbesar adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan itupun juga mayoritas bermadzhab Syafi’i.

            Suatu yang mustahil jika Walisongo dan para Mubaligh lain semasanya tidak menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara realita masyarakat Islam di lapangan sekarang merupakan penganut setia Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya penduduk Jawa. Padahal, dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa sendiri merupakan bidikan utama oleh para Walisongo. Maka tak dapat dipungkiri jika Walisongo itu sendiri berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah, kecuali jika dalam sejarah Islam sendiri mencatat bahwa adaanya peralihan faham yang ada sebelum Ahlussunnah wal Jama’ah menjamur di kalangan umat Islam Jawa. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh juga menjelaskan “ Jika kita mempelajari Primbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita alkan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fikih dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i. dari sini,menjadi jelas jika para da’i yang terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Walisongo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah”[2].

 Di sisi lain, masjid-masjid besar yang dibangun oleh Walisongo juga turut menjadi bukti akan faham yang telah di anut mereka kala itu, misalnya Masjid AL Aqsho (Sunan Kudus), Masjid Sunan Ampel (Surabaya), Masjid Agung Demak (Sunan Kalijaga) dan lainnya. Pada realitnya, tak mungkin jika suatu Masjid yang berada pada lingkungan Walisongo tersebut, masyarakat dan orang Islam yang telah turun-temurun bermukim di sekitar Masjid tersebut melenceng dari faham yang dianutnya, padahal dalam praktek ibadah keseharian di Masjid tersebut memang merupakan amaliyah faham Ahlussunnah wal Jama’ah. (Baca juga tips kesehatan  cara mengembalikan keperawanan )

Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang yang dibawa oleh Walisongo tetap kukuh dan dipegang teguh Umat Islam di Nusantara. Dalam wadah organisasi sosial keagamaan NU (Nahdhotul
Ulama’) lah Islam di Indonesia ini tetap bersatu dalam menjalin komunikasi untuk memperkukuh Ukhuwah Islamiyyah dan mensyi’arkan Islam ke penjuru plosok negeri, dan turut serta mengirimkan Da'i ke negara tetangga yang belum terjamah oleh kesejukan Agama Islam, untuk mewujudkan Indonesia sebagai mercusuar dunia.



[1] Makam salah satu wali (syaikh Syadzali) yang hidup sederhana, membaur dengan masyarakat di Gunung Muria

[2] Al Imam Al Muhajir, hal.182

Artikel keren lainnya:

Powered by Blogger.